Seri Biografi Misionaris: John G. Paton

Misionaris Salib

John Gibson Paton (1824-1907) adalah seorang Skotlandia yang sangat berani, bahkan berani memberitakan Injil kepada para kanibal (orang yang memakan sesama manusia). Meskipun ada pihak yang menolaknya untuk pergi menjadi misionaris di daerah kanibal, Paton berpendapat bahwa mati dimakan kanibal atau dimakan cacing-cacing di liang kubur itu tidak ada bedanya, asal kehidupan dan kematiannya dapat melayani dan memuliakan Yesus Kristus. Pada hari kebangkitan, tubuhnya akan mengalami kesempurnaan dan keserupaan dengan Yesus yang telah bangkit.

Kerohanian Paton dibentuk sejak awal oleh ayahnya yang giat berdoa dan seorang pengikut Reformed Presbyterian Church di Skotlandia. Ayahnya menekankan kebiasaan berdoa dalam keluarganya. Kebiasaan berdoa ini senantiasa hidup dalam kerohanian Paton. Selain itu, ketika keluarga Paton pernah mengalami kesusahan besar, Paton dibentuk dengan pengalaman doa dari ibunya sendiri. Ketika kehabisan makanan, ibunya dengan sangat tertekan mengatakan kepada Paton bahwa ia telah menceritakan semuanya kepada Allah, dan Allah akan mengirimkan makanan kepada mereka keesokan paginya. Keesokan harinya makanan kiriman ayahnya muncul dan itu memberi kesan yang mendalam di hati Paton. Dari kebiasaan keluarga seperti inilah Paton mempunyai kerinduan besar untuk belajar meskipun harus meninggalkan bangku sekolah sejak masih muda dan melanjutkan usaha ayahnya. Paton harus bekerja dari pukul 6 pagi sampai 10 malam setiap harinya untuk menafkahi hidup keluarganya. Di waktu luangnya dia belajar bahasa Latin dan Yunani dengan rajin. Dia mau belajar bahasa tersebut karena dia berkomitmen, “Saya telah menyerahkan jiwa saya kepada Allah dan telah berketetapan untuk menjadi “Misionaris Salib/Pelayan Injil”, seberapa banyak doa-doa ayah saya yang telah membekas di hati saya saat ini, tak akan pernah bisa saya jelaskan dan tidak ada satu pun orang yang dapat mengerti hal tersebut. Ketika beliau berlutut dan kami semua berlutut mengelilinginya dalam Doa Keluarga, sambil berurai air mata ia mencurahkan seluruh jiwanya dalam permohonan bagi pertobatan dunia kafir, dan penyerahan mereka untuk melayani Yesus. Ia juga memohon bagi setiap kebutuhan pribadi dan rumah tangga mereka. Kami semua merasa seakan berada di dalam hadirat Sang Juruselamat yang hidup dan belajar untuk mengenal dan mengasihi-Nya sebagai Sahabat Ilahi kami…”.

Tuhan memimpin hidup Paton untuk menjadi jawaban doa ayahnya. Paton bisa melanjutkan studi kembali dan kuliah di seminari. Banyak kesulitan yang dia hadapi, khususnya dalam hal dana. Dia pernah berhenti kuliah karena kekurangan biaya dan akhirnya bekerja sebagai guru. Namun Tuhan membuka jalan bagi impiannya menjadi misionaris. Dia melamar menjadi misionaris kemudian dia ditempatkan di kota Glasgow, sekitar Green Street di distrik Calton. Di sanalah dia mulai berkhotbah, memulai persekutuan dengan tujuh orang lain bersamanya, dan menerapkan tradisi Reformed Presbyteriannya. Pelayanannya berkembang dan dia bisa mengadakan kebaktian Minggu. Di dalam kurang lebih enam bulan, orang-orang yang rutin hadir mencapai 600 orang. Paton banyak sekali melakukan pelayanan seperti kelas Pemahaman Alkitab, Persekutuan Doa, kelas Katekisasi, dan lain-lain. Sampai akhirnya Tuhan menaruh kerinduan kepada Paton untuk pindah dari Calton, ke daerah Samudera Pasifik Selatan. Sebab dia sadar bahwa pelayanan di Calton banyak yang dapat menggantikannya sedangkan di daerah Samudera Pasifik Selatan, tidak ada yang mau pergi ke sana. Paton kemudian mengajukan diri ke New Hebrides Mission.

Kepulauan New Hebrides terletak di Samudera Pasifik Selatan yang terdiri dari 30 pulau, berada di dekat Australia dan Selandia Baru. Paton dan istrinya tiba di Pulau Aneityum, pulau paling selatan dari kepulauan New Hebrides. Di sana Paton bertemu dengan para misionaris yang sudah lebih dulu datang, lalu mereka pergi ke pulau Tanna. Di tengah perjalanan ke pulau Tanna, Paton mengalami tabrakan kapal, menyebabkan kapal yang dipakainya terombang-ambing dengan sangat sulit sampai ke pulau Tanna, tetapi tangan Tuhan menyertai perjalanan tersebut.

Sesampainya di pulau Tanna, di sanalah pertama kali Paton mendengar kabar bahwa terdapat peperangan antara “orang-orang pelabuhan” dan “orang-orang pedalaman”. Orang-orang yang terbunuh dalam peperangan tersebut dimasak dan dimakan dalam jumlah besar di mata air yang mendidih (satu-satunya sumber air segar di pulau itu). Selain itu, Paton juga mendengar kisah bagaimana ketika seseorang meninggal, istrinya dicekik sampai mati dengan alasan agar dapat menemani suaminya ke dunia lain dan terus menjadi pelayannya. Lalu janda-janda, istri-istri, bayi-bayi, dan orang tua berusia lanjut yang tidak dikehendaki, dibunuh dengan sesuka hati. Pembunuhan demi pembunuhan sering terjadi di pulau tersebut.

Di tengah kengerian yang demikian, Paton sering bergumul kenapa ada orang-orang yang demikian? Apakah mungkin menjelaskan Kristus kepada orang-orang seperti mereka? Apakah mereka dapat hidup lebih beradab dan penuh kasih? Meskipun bergumul, Paton rindu untuk mengabarkan Injil dengan bahasa mereka. Akhirnya Paton dan rekan-rekannya yang lain ditinggalkan di pulau Tanna untuk hidup di sana, belajar mengerti agama mereka, dan mulai mengabarkan Injil kepada penduduk pulau tersebut.

Paton dan istrinya, tinggal di sebuah rumah bekas misionaris London. Akan tetapi, lingkungan rumah tersebut begitu tidak sehat, mereka sekeluarga terkena demam. Ketika istri Paton melahirkan anak pertamanya, dalam lima minggu istri dan anaknya meninggal karena demam. Paton ditinggalkan sendirian dalam keadaan demam dan harus memakamkan dua orang yang sangat dikasihinya. Makam itu merupakan tempat ziarah yang paling sering dia kunjungi selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun berikutnya di Tanna. Ketika ada seorang yang dimenangkan bagi Kristus di Tanna, kenangan makam tersebut selalu baru di pikiran Paton. Paton menulis, “Kalau bukan karena Yesus dan persekutuan yang Dia berikan kepada saya di sini, pastilah saya sudah menjadi gila dan mati di samping kuburan yang sunyi itu!

Pelayanan misi Paton di Tanna penuh pertentangan dari orang-orang suku asli. Serangan ilmu hitam, tombak, dan senapan pernah mengancam nyawanya. Ketika pelayanan misi semakin sulit, Tuhan tetap memberikan kekuatan dan pengharapan kepada Paton. Sampai akhirnya ada seorang kepala suku kanibal yang mengenal Kristus dan dapat dipastikan dia sudah lahir baru. Kepala suku ini kemudian meninggal karena epidemi campak. Dia menuliskan kata-kata terakhirnya, “Aku takut Allah akan mengambil kami semua dari Tanna dan akan meninggalkan kaumku yang malang tinggal dalam kegelapan dan ketidaktahuan seperti sebelumnya karena mereka membenci Yesus dan penyembahan kepada Yahweh. Selamat tinggal Paton, aku sudah dekat kematian sekarang; kita akan berjumpa kembali dalam Yesus dan dengan Yesus.” Menanggapi perkataan ini, Paton berkomentar, “Demikianlah matinya seorang yang dulunya menjadi kepala suku kaum kanibal, tetapi anugerah Allah dan kasih Kristus telah mengubahnya menjadi sebuah karakter yang bercahaya dan penuh keindahan. Apa pendapat kalian tentang hal ini, hai kalian yang suka mengejek dan mencela misi? Apa pendapat kalian tentang hal ini, hai kalian yang meragukan realitas pertobatan?” Sungguh, anugerah Allah jauh lebih berkuasa dari kengerian para kanibal!

Paton kemudian memutuskan untuk meninggalkan Tanna. Tanna belum menghasilkan apa-apa dan misi dibubarkan, Tanna ditinggalkan tanpa penginjil. Paton memutuskan untuk pergi ke Australia demi menjelaskan dan membangkitkan pekerjaan misi di New Hebrides. Sesampainya di Australia, Paton berjuang untuk mendapatkan akses ke gereja-gereja demi membagikan pengalaman pelayanannya di Tanna dan membangkitkan kesadaran orang bahwa pelayanan misi benar-benar penting. Tujuan utamanya adalah pengadaan kapal misi untuk membawa para misionaris ke New Hebrides. Banyak orang menganggap Paton mencari sumbangan saja, tetapi Paton dengan tegas menyatakan bahwa uang itu nomor dua dan Paton tidak datang untuk meminta-minta sebagai pengemis. Sangat unik, pada hari Minggu kedua di Sydney, dengan kerinduan hati yang mendalam untuk bisa memberitakan pelayanan misinya, Paton melihat anak-anak bergerombol masuk ke sebuah gereja Presbyterian. Dia pun masuk ke sana. Paton tergerak untuk meminta izin untuk berbicara 10 menit, gereja mengizinkannya bahkan setelah itu memberinya kesempatan untuk berkhotbah pada kebaktian petang. Selanjutnya, barulah Paton diperkenalkan dengan pendeta-pendeta Presbyterian di kota itu, dan kesempatan berbicara mulai berdatangan. New Hebrides Mission mendapat tempat di seluruh penjuru Australia. Dana untuk kapal misi pun diperolehnya.

Setelah kapal misi bernama Dayspring itu dibuat, timbul permasalahan baru. Mereka tidak memiliki dana operasional. Orang-orang mulai mengecam dan menyarankan agar kapal tersebut dijual, serta membiarkan para misionaris sendiri yang menunjang biaya operasional kapal tersebut. Keesokan harinya pada hari Minggu, Paton harus berkhotbah di sebuah gereja. Gereja itu menjadi bagian misi gereja lain yang lebih besar, sehingga keadaan dana gereja itu minim. Selesainya Paton berkhotbah dan masuk ke ruang tempat penyimpanan baju pendeta, sepasang suami istri datang kepadanya. Bapak tersebut adalah kapten kapal dan begitu menikmati kebaktian di gereja yang Paton pimpin. Mereka sangat bersimpati dan menolong Paton untuk keluar dari kesulitan dana operasional. Empat hari sejak itu, Dayspring berlayar dan semua hutang sudah lunas.

Dayspring bisa berangkat ke pulau Tanna, tetapi terjadi kemelut sebab kapal Curacao muncul di Tanna demi membalas dendam pengorbanan para misionaris. Faktanya adalah dua misionaris yang dibunuh dan kehidupan Paton yang dianiaya oleh orang-orang Tanna. Akhirnya pemimpin kapal Curacao menembaki dan menghancurkan dua desa. Artikel pun bermunculan menggambarkan pembunuhan terhadap orang-orang Tanna.

Akibat sebuah kemelut di Tanna, Paton tidak bisa ke Tanna lagi sebab dia tahu bila menginjakkan kaki di Tanna, dia akan dibunuh. Dia melanjutkan pelayanan misinya pada umur 42 tahun, dan selama 15 tahun dia di pulau Aniwa, dekat dengan pulau Tanna. Di Aniwa, semuanya harus dipelajari lagi dari awal, kecuali imannya kepada Allah yang telah matang dan terbukti.

Apa yang dialami Paton di Tanna, dialami kembali di Aniwa. Akan tetapi, Tuhan mengizinkan Paton untuk menghasilkan karya yang tidak dihasilkan di Tanna, yaitu proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa suku di Aniwa, memelihara anak-anak yatim piatu, dan melihat lebih banyak pertobatan terjadi bagi orang-orang Aniwa. Orang-orang tua yang pernah membunuh anaknya sendiri mengalami pertobatan dan akhirnya mengambil anak yatim piatu untuk menjadi anak mereka. Ada seorang suami yang membunuh istri pertamanya supaya bisa memiliki perempuan lain. Lalu perempuan yang menjadi istri kedua ini membawa suami tersebut dan anak-anaknya untuk percaya kepada Kristus. Gereja mulai didirikan dan kekristenan berkembang. Pengajaran berlangsung di seluruh pulau, di pinggir jalan, di bawah pohon, atau di mana saja orang mau mendengarkan.

Setelah di Aniwa, Paton pergi mengelilingi dunia untuk menghadiri pertemuan-pertemuan gerejawi. Di sana Paton berkhotbah dan mendorong agar banyak orang Kristen memikirkan pekerjaan misi. Paton pergi berkeliling di Inggris, Amerika, Kanada, Australia, dan lain-lain. Seiring bertambahnya umur, semakin keras Paton bekerja. Pernah suatu kali Paton berceramah sekitar 15 kali dalam seminggu dan paling sedikit berkhotbah satu kali pada tiap hari kerja. Tulisnya, “Satu-satunya kekuatan yang mendorong saya adalah mata air sukacita sejati yang memancar terus dalam pekerjaan dari Tuhan dan Juruselamat saya, Yesus Kristus.” Kunjungan terakhir Paton di Aniwa adalah ketika dia berumur 80 tahun. Orang-orang Aniwa menyadari itu adalah pertemuan terakhir dengan Paton, sebab dokter melarang Paton untuk melakukan perjalanan berat seperti itu lagi.

Pada umurnya yang ke-82, kesehatan Paton makin memburuk. Dia berharap Januari 1907 dapat kembali ke Aniwa, tetapi hal itu tidak tercapai. Kadang-kadang bicaranya juga melantur dan semua lamunannya berisi tentang kepulauan New Hebrides dan misinya. Di dalam doanya bagi anak-anak dan cucu-cucunya agar mereka tak kekurangan kemuliaan Allah, pelan-pelan dia kehilangan kesadarannya dan akhirnya meninggal dunia.

Selama lebih dari 50 tahun, dia mengabdikan diri untuk menjadi penginjil, khususnya bagi kepulauan New Hebrides. Hidupnya diserahkan kepada Tuhan demi pekerjaan Injil dan menarik orang banyak untuk melakukan pekerjaan Injil. Sepanjang sejarah kehidupan orang-orang Aniwa, Paton akan terus diingat sebagai misionaris dan pendiri Gereja Aniwa.

Ah, kalau saja hidup saya dapat dimulai kembali! Saya akan mengabdikannya kembali bagi Yesus dalam mengupayakan pertobatan orang-orang kanibal yang tersisa di New Hebrides. Namun, karena hal itu tidak mungkin, kiranya Dia akan menolong saya untuk memakai setiap saat dan semua kekuatan yang masih tersisa dalam diri saya untuk meneruskan pekerjaan yang mulia itu sampai saat akhir. Tidak ada keragu-raguan lagi, orang-orang biadab yang terbelakang dan miskin ini adalah bagian dari warisan milik Sang Penebus…” – John G. Paton

Sumber: John D. Legg; John G. Paton – Misionaris Salib. Momentum: Surabaya


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.