Pohon yang Baik dan Pohon yang Jahat

Matius 12:33-37

 

Injil Matius ditulis sebagai sebuah jawaban atau apologetika terhadap kesulitan orang-orang Yahudi. Kesulitan orang Yahudi adalah menunggu kehadiran Mesias dan kedatangan kerajaan surga. Kalau kita membaca sepanjang injil Matius, banyak disinggung tentang kerajaan dan raja. Di Matius 1:1 dikatakan “inilah silsilah Yesus Kristus anak Daud.” Silsilahnya dimulai dengan Daud, bukan Abraham seperti pada umumnya silsilah orang Israel. Kemudian silsilah ini dibagi menjadi tiga bagian, masing -masing bagiannya ada 14 keturunan. Di bagian yang pertama dan ketiga, orang-orang yang disebut bukanlah raja, tetapi di bagian yang kedua adalah silsilah para raja. Dalam cara pandang orang Yahudi, ketika ada tiga bagian, maka bagian yang tengah adalah inti pembicaraan: Raja Yesus atau Yesus yang akan datang adalah raja yang ditunggu oleh orang Yahudi. Raja ini akan bertakhta dalam kerajaan surga-Nya. Bahkan sampai di akhir dari injil Matius yaitu di Matius 28:17-18 dikatakan “ketika melihat Dia, mereka menyembahnya. Tetapi beberapa orang ragu-ragu dan Yesus mendekati mereka. KepadaKu telah diberi segala kuasa di sorga dan bumi.” Ini adalah konfirmasi dari Tuhan tentang keberadaaan Yesus sebagai Raja. Inilah konteks dari seluruh injil Matius.

Matius 12:33-37 adalah suatu bagian yang sederhana dan mudah dimengerti. Ayat 33: “Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya.” Semua orang sudah tau fakta ini. Tetapi ketika kita membaca bagian yang begitu sederhana ini didalam kacamata kita sebagai orang post-modern, kita akan gagal membacanya. Mengapa? Karena kita tidak akan melihat kalau kita adalah orang yang sedang ditegur di dalam ayat-ayat ini. Kita akan melihat diri kita sebagai orang yang cukup baik. Kita tidak mau disebut orang yang ekstrim, yang terlalu sempurna atau terlalu jelek. Ketika kita ditanya apakah buah kita baik atau tidak, kita bilang kalau buah kita lumayan. Orang post-modern suka berada di tengah-tengah, tapi justru ditengah-tengah inilah yang paling rusak. Alkitab hanya memberikan dua gambaran: pohon yang baik dan pohon yang jahat. Di ayat 30, Yesus berkata “siapa tidak bersama Aku, dia melawan Aku.” Ini berarti tidak ada orang yang ada ditengah-tengah.

Seringkali orang datang ke GRII karena melihat figur Pdt. Stephen Tong yang begitu ekstrim. Umur 78 tahun masih mengadakan KKR di 40 kota, kemudian juga simposium mahasiswa, dan grand concert. Apakah kita hanya mengagumi beliau, namun sebenarnya tidak ingin meneladaninya? Padahal seperti yang kita baca tadi, kita tidak punya jalan tengah, dan setiap orang harus memilih titik ekstrimnya. Mengikut Tuhan secara total, atau melawan Tuhan secara total? Seringkali orang Kristen merasa puas hanya dengan beribadah di gereja seminggu sekali, namun tidak memikirkan seberapa jauh pelayananya, seberapa sering penginjilannya, atau seberapa dalam pemahaman firman-Nya. Ini mendefinisikan posisi ditengah-tengah dan mengambang. Gereja Tuhan harus bertanya kepada dirinya sendiri. Bagaimana buah kita? Apakah buah kita baik? Apakah buah kita membangun kerajaan Allah? Benarkah hidup kita adalah pohon yang ditegakkan dalam kerajaan Allah?

Pertama, untuk menilai apakah pohon itu baik, kita harus melihat dari kacamata kerajaan Allah, bukan kacamata kita sendiri. Benarkah saya sudah menjadi pohon yang baik yang bersama dengan Tuhan, ataukah saya menjadi pohon yang jelek yang melawan Tuhan? Di dalam gerakan Reformed Injili tahun ini kita ingin besar-besaran dalam melakukan penginjilan. Selama ini STEMI terlalu berfokus pada jumlah orang yang sudah dinjili atau jumlah siswa yang sudah dilayani. Tetapi Pak Tong menegur karena seberapapun jumlah orang yang sudah dilayani harus dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada. Selain itu, orang-orang yang dijangkau sebagaian besar adalah dari desa dan bukan kota. Tanpa bermaksud mengecilkan orang-orang desa, tetap saja orang-orang kota adalah orang yang akan lebih berpengaruh di Indonesia di masa yang akan datang, sehingga penjangkauan kepada orang kota juga harus dilakukan dengan seimbang. Kita harus memikiran strategi yang baru, karena kita sudah lama tertidur. Orang Kristen sudah tertidur puluhan tahun dan masih tidak sadar apa yang sedang terjadi. Kita hanya melihat di gereja lokal kita jumlah jemaat bertambah beberapa puluh jiwa, dan kita sudah merasa puas, namun apa artinya semua itu jika dibandingkan dengan hilangnya puluhan juta jiwa di Indonesia setiap tahunnya? Pohon yang baik berbicara tentang keseluruhan kerajaan Allah, bukan hanya apa yang diri kita rasakan. Kita hanya datang setiap minggu ke gereja untuk menikmati kekristenan dan menenangkan hati nurani kita bahwa kita masih orang Kristen. Tetapi berbicara tentang kekristenan, kita harus berbicara tentang pohon baik yang menghasilkan buah yang baik. Seringkali orang Reformed sering menipu dirinya sendiri dengan mengatakan lebih penting esensi daripada apa yang kita perbuat, yang penting hati saya baik dan memiliki teologi yang benar dan dalam, tapi keluar dan kelihatannya seperti apa tidak penting. Padahal Alkitab mengajarkan keduanya dan jikalau memang hatinya benar, pasti keluarnya juga benar.

Kedua, di manakah buah yang baik ini? Jika kita adalah pohon yang menghasilkan buah yang baik, maka buah itu akan terus membangun kerajaan Allah, baik yang ada di dalam diri kita sendiri, di luar diri kita sendiri, dan kerajaan Allah secara total. Tiga aspek ini harus muncul dari hidup kita. Benarkah selama ini hidup kita terbangun sebagai kerajaan Allah? Benarkah kita semakin hari semakin mempertuhankan Tuhan, makin merindukan Tuhan, makin ingin bersama dengan Tuhan? Atau sebenarnya hati kita makin dekat yang lain. Dari tahun ke tahun, siapakah yang makin kita cintai dan tidak bisa lepaskan? Mari kita coba renungkan kembali, benarkah saya bertumbuh dan terus menyatakan buah yang baik? Memang benar bahwa perbuatan di luar tidak bisa dijadikan patokan sepenuhnya. Orang yang mencintai firman makin hari makin mencintai firman itu. Orang yang mengasihi firman maka dia akan memulai pembacaan firman dia dengan sukacita dan akan berhenti dengan terpaksa, tetapi orang yang tidak mencintai firman, akan memulai pembacaan dengan terpaksa dan berhenti dengan sukacita. Seseorang bisa membaca firman setiap hari namun tidak mencintai firman. Apakah semakin hari kita semakin merindukan dan mencintai Firman? Apabila kita bisnis perkebunan Durian, dan kita mengimpor bibit durian yang paling premium di dunia, namun bibit itu tidak ada yang berbuah, apakah artinya semua itu? Memang bibitnya yang terbaik, tapi kalau tidak berbuah terus-menerus, itu namanya bukan pohon yang baik. Begitu pula bila kita menanam pohon yang hanya bisa berbuah dengan baik satu kali saja. Ada pohon yang ketika dibeli berbuah banyak dan enak, namun ketika dipindahkan ke kebun kita tidak pernah berbuah lagi. Inilah hidup orang Kristen, sesekali berbuah, namun tidak pernah terlihat lagi. Ketika kita bertobat, semangat kita sangat luar biasa, namun setelah itu tidak ada lagi. Namun Alkitab berkata bahwa buah kita harus terus ada, yaitu dengan terus mengikut Tuhan dan terus bertumbuh. Kita seringkali hanya berkata kita pernah melayani dengan luar biasa, namun kemudian berpuas diri. Mari kita renungkan kembali kenapa kekristenan di Indonesia terus mundur. Alkitab mengajarkan kita untuk melihat dari kacamata Kerajaan Allah. Secara pribadi harus bertumbuh. Secara relasi sebagai gereja Tuhan harus bertumbuh. Secara Kerajaan Allah yang meluas di dunia harus bertumbuh.

Tahun 2016 pertumbuhan kekristenan yang paling pesat ada di negara Iran. Hal itu disebabkan kekristenan di sana susahnya luar biasa. Secara global kekristenan mundur karena rata-rata orang Kristen ada di negara yang enak. Pak Tong pernah mengatakan untuk berdoa meminta penganiayaan di Indonesia supaya kekristenan di Indonesia maju. Kita terlalu mudah untuk mau atau tidak mau datang beribadah. Tidak ada yang menekan kita. Membaca peta politik sekarang, doakanlah kekristenan semakin sulit supaya ada pemurnian dan pertumbuhan iman, serta pemisahan antara pohon yang baik dengan yang tidak baik. Kalau kita mendoakan kekristenan semakin santai maka kita akan mati. Gereja mula-mula bisa bertumbuh karena orang yang ketahuan Kristen akan dibunuh. Zaman sekarang kita mau berdoa di tengah jalan pun tidak ada yang peduli.

Kita orang reformed suka mengatakan yang penting hati dan tahu kebenaran. Tuhan tidak bertanya itu. Alkitab mengatakan bahwa setiap orang akan diminta pertanggungjawaban dari buahnya. Jikalau kamu mempunyai hati kepada Tuhan, maka perbuatanmu otomatis akan keluar. Kita seharusnya gelisah ketika kekristenan terus mundur dan tidak bertumbuh. Alkitab mengatakan iman kita bertumbuh atau mundur, tidak ada yang di tengah-tengah. Pak Tong memberikan gambaran ikan yang hidup itu melawan arus, sedangkan ikan yang mati akan dibawa arus. Tuhan akan menuntut perbuatan yang keluar dari hati kita. Tuhan akan melihat yang kita perjuangkan benarkah menunjukkan kita mencintai Tuhan. Ketika kita jatuh cinta, kita akan gelisah dan hati kita akan kepada dia seluruhnya. Kalau kita gelisah kepada yang lain maka kita tidak cinta dia. Inilah yang terjadi dengan hidup kita. Kita tidak lagi mengasihi Tuhan. Kita terus duduk di tempat ini hanya untuk menenangkan hati nurani kita supaya nanti ketika di hadapan Tuhan kita pikir kita bisa mengelabui Tuhan. Tuhan akan bertanya perbuatan yang keluar dari hatimu ada di mana.

Di zaman post modern ini kita diajar untuk tidak peduli, yang penting saya merasa tenang. Hal ini membuat Kristen menjadi kafir. Orang kafir selalu mencari allahnya untuk menenangkan dirinya. Namun orang Kristen mencari Allah karena Allah terlebih dahulu mencari dia. Bukan untuk menenangkan hati kita, melainkan untuk memuaskan hati Tuhan yang mencari kita. Cara berpikir orang kafir yaitu tidak berani mengubah hidupnya karena takut kacau semua. Kita adalah orang yang paling bodoh karena terus melihat dari kacamata kita. Alkitab mengatakan agar kita melihat dari kacamata Hakim yang akan menghakimi kita. Dulu ketika sekolah saya benci dengan pelajaran bahasa Indonesia, apalagi ketika disuruh mengarang. Guru saya berkata boleh mengetik dengan apapun, yang penting satu halaman penuh. Saya ketik menggunakan komputer dengan font besar, sehingga hanya lima baris sudah penuh. Ketika saya kumpulkan, guru saya berkata, “Kamu boleh menulis sesukamu, tetapi jangan lupa yang kasih nilai adalah saya. Saya kasih kamu nilai nol karena kesalahanmu adalah saya tidak puas dengan pekerjaanmu.” Bodoh sekali saya karena sudah tahu pasti tidak diterima tetapi tetap dikerjakan. Sama dengan hidup kita sekarang. Kita tetap mengerjakan yang sudah pasti tidak berkenan di hati Tuhan. Betapa bodohnya kita.

Kita mau mengakhiri tahun 2018 ini seperti apa? Apakah mau seperti tahun-tahun sebelumnya yang tidak pernah berubah atau mau berdoa meminta Tuhan memberikan kekuatan dan hikmat mengubah hidup kita untuk melihat dari kacamata Kerajaan Allah sehingga kita memiliki hidup yang dipersembahkan bagi Tuhan? Mari menjadi orang yang bijaksana. Post-modern mengajarkan kita menjadi orang bodoh dengan mengerjakan apapun yang kita mau kerjakan. Kita menghabiskan seumur hidup mengerjakan sesuatu yang pada akhirnya tidak berkenan kepada Tuhan. Kalau bicara tentang hidup yang benar di kacamata manusia itu sendiri, maka orang Farisi adalah orang yang sempurna. Kitab Matius mencatat orang Farisi berdoa mengangkat tangan karena menganggap diri sempurna sehingga boleh menghadap Tuhan dengan tangan kosong. Orang Yahudi mengajar anak mereka membaca dengan membaca Alkitab. Namun Tuhan tetap mengatakan mereka adalah ular beludak karena mereka melihat hidup mereka dari kacamata mereka sendiri. Kita mempunyai ilusi yang membuat hidup kita semakin buruk. Di bulan pertama di tahun ini mari kita renungkan kembali bagaimana kita seharusnya hidup. Mari belajar mengambil kesempatan yang Tuhan berikan dengan sebaik-baiknya. Mari doakan Indonesia dengan melihat dari kacamata Kerajan Allah. Mari renungkan Indonesia sedang dipakai Tuhan menjadi apa dan kenapa kita ditaruh di Indonesia, serta ksenapa kita berada di dalam zaman ini dan gerakan ini. Mari kita renungkan kembali sehingga hidup kita tidak menjadi sia-sia dan bibit yang Tuhan tanamkan di hati kita boleh bertumbuh besar menjadi pohon yang baik serta menghasilkan buah yang baik.