Perenungan 7 Perkataan Salib

Matius 27:44, Lukas 23: 33-43

Jumat agung dan paskah adalah 2 hari yang penting, bahkan jauh lebih penting dari momen natal. Mengapa? Karena menjadi puncak proklamasi iman Kristen bahwa Allah orang Kristen adalah Allah yang mati, sekaligus Allah yang bangkit. Di momen jumat agung dan paskah, di situ orang Kristen memproklamasikan iman kita. Empat injil memberi catatan luas, panjang lebar, dan detail untuk momen penyaliban dan kebangkitan Kristus. Kelahiran Kristus hanya dicatat dalam Matius dan Lukas yang mencatat detail. Kalau kita perhatikan, alkitab bergerak lambat sekali untuk menceritakan proses penderitaan, kematian, sampai kebangkitan Kristus. Namun jangan salah, bukan fokus pada penderitaan fisik yang dicatat Injil. Injil mencatat begitu detail mulai dari Dia berlutut di Getsemani, sampai ditangkap, jalan via dolorosa, sampai di Golgota. Alkitab mencatat begitu detail tapi fokus bukan pada penderitaan fisik, tapi pada penderitaan rohani. Saudara tidak akan menemukan bagaimana proses Yesus disalib. Tidak akan ada cerita bagaimana paku itu merobek tangannya, berapa banyak darah keluar, atau berapa dalam mahkota duri itu mengkoyak kepala-Nya. Kita bisa tahu tangan Yesus dipaku di kayu salib bahkan alkitab catat pada momen Yesus bangkit, waktu Dia berkata, “Inilah Aku, lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku.” Namun waktu peristiwa penderitaan Yesus, tidak ada data tentang itu semua. Mengapa? karena Injil mengajak kita melihat bahwa ada yang lebih besar dan menakutkan dari sekedar penderitaan fisik, yaitu penderitaan rohani. Mulai dari Getsemani, yang disedihkan, “ditakutkan,” oleh Juru Selamat kita adalah cawan murka Allah, terpisah dari Allah. Gambarannya seperti keringat menetes seperti tetesan darah, bergumul sekali.

Kita tidak punya 1 ilustrasi untuk membayangkan bagaimana penderitaan Kristus menanggung seluruh dunia. Mengapa? Karena Dia dalam posisi tidak berdosa. Sejijik-jijiknya kita, anda dan saya punya ruang yang gelap, yang kalau ingat itu pun kita bisa jijik, itu pun kita bisa rasa menolak. Saya tidak bisa bayangkan bagaimana Tuhan yang agung dan mulia itu, yang tidak pernah berdosa, yang kudus itu, harus menanggung seluruh dosa. Itu penderitaan yang besar. Tuhan harus menanggung kejijikan di seluruh planet bumi ini dan menahan murka Allah Bapa. Alkitab memberikan detail tentang salib Kristus. Pada zaman Tuhan Yesus hidup, ribuan orang mati disalib, bahkan sejarah mencatat di Galilea pernah kehabisan kayu karena hampir semua kayu dipakai untuk memaku orang laki di Galilea. Ribuan orang di sepanjang jalan dipamerkan oleh orang-orang Romawi untuk menyiksa mentalitas orang-orang Yahudi. Waktu kita memikirkan salib, kita ada beda budaya (gap culture). Pada zaman itu, salib bukan hal yang heboh. Kalau ada yang disalib, itu bukan hal yang baru, tidak ada yang peduli karena dianggap suatu hal yang biasa, tidak menarik, serta dianggap topik yang membosankan. Alkitab memberi bagian yang begitu besar. Perjanjian lama mencatat salib itu tempat terkutuk. Sisero, seorang filsuf mengatakan: Orang Romawi boleh dihukum apa saja, bisa ditarik oleh 4 kuda, tapi satu hukuman yang tidak boleh diberikan, yaitu salib. Mengapa? karena itu terlalu menghina. Orang yang disalib, persentase 90% itu negatif. Namun Bapa-bapa gereja waktu menggambar Yesus disalib rasa susah hati sekali kalau Tuhan dipamerkan dengan kondisi telanjang. Faktanya dari data-data hampir mereka semua yang disalib itu ditelanjangi. Mengapa? Salib itu bukan sekedar hukuman fisik, tapi hukuman mental, psikologis. Orang dipaksa mati pelan-pelan dan jadi hiburan bagi banyak orang. Salib menjadi tempat yang begitu menjijikkan. Orang Kristen sepanjang zaman memberi penghormatan untuk salib. Ada ribuan salib yang ada pada zaman itu, mengapa hanya salib Yesus yang menjadi spesial.  Sekarang, salib menjadi barang yang murahan. Salib menjadi bagian utama dalam berita Injil, bukan karena salibnya, melainkan karena siapa yang tergantung di kayu salib. Paulus dalam 1 Korintus 1:18 mencatat pemberitaan tentang salib adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tapi adalah kekuatan Allah bagi kita yang diselamatkan. Paulus mencatat orang yahudi datang kepadanya mencari tanda. Mereka bangsa yang kebanjiran mukjizat ingin melihat mukjizat lagi dari Paulus. Mereka sudah ribuan tahun menikmati bagaimana nenek moyang mereka dipelihara dengan mukjizat. Lalu Paulus menjawab, “Aku memberitakan Kristus yang bagi orang yahudi adalah batu sandungan dan bagi orang Yunani itu kebodohan.” Dalam bagian ini salib menjadi bagian yang luar biasa, karena di atas salib Kristus, anda dan saya akan melihat rencana yang agung dan kekal di dalam sejarah. Hanya lewat salib kristus, seluruh misteri dan pertanyaan tentang penderitaan dijawab total. Di atas salib Kristus juga menyingkapkan kengerian kita akan dosa. Tidak ada satu agama yang bisa menjelaskan tentang dosa, begitu mengerikan, begitu menjijikkan. Tidak ada manusia yang bisa melihat tentang dosa. Sebelum matanya melihat di atas kayu salib, baru kita tahu betapa menjijikkan dosa itu. Di atas kayu salib kita melihat sesuatu yang keji, brutal, jijik. Itu dilakukan bukan oleh orang-orang bar-bar atau atheis atau orang yang tidak sekolah. Di atas kayu salib kita melihat bahwa potensi dosa itu begitu menakutkan karena justru yang membunuh Yesus adalah orang-orang beragama, orang yang pakai kitab suci dan rajin berdoa, serta punya kehidupan moral yang baik. Di atas kayu salib seluruh dosa disingkapkan. Waktu Pilatus bertanya, “Bagaimana jika orang ini tidak bersalah?” Orang banyak berkata, “Kalaupun kami harus dikutuk karena membunuh orang yang tidak bersalah, biarlah darah-Nya ditanggungkan kepada saya dan anak cucu.” Dosa itu akarnya begitu jahat. Kalau Tuhan menarik anugerah, maka matilah kita. Di dalam salib Kristus menyingkapkan kengerian kita akan dosa. Bagi agama lain, dosa itu mudah karena bisa ditutup pakai amal perbuatan, tapi alkitab berkata tidak.

Di atas kayu salib, kita akan melihat keajaiban kasih Allah yang mulia. Ada banyak kasih di tengah dunia ini tidak mulia. Ada banyak kasih di dunia ini memanipulasi, berbalas, bersyarat, serta memanfaatkan. Tapi di atas kayu salib kita akan melihat, kasih Allah yang agung dan mulia. Bagaimana kehinaan sampai di tempat yang paling bawah, Kristus lakukan. Kehinaan yang ditanggung waktu Dia lahir. Dia lahir dikelilingi oleh binatang. Pada waktu mati, Dia dikelilingi oleh penjahat dan orang-orang yang haus hiburan. Di atas salib Kristus, itu satu-satunya tempat dimana Allah mengatakan anda dan saya tidak mampu menolong diri kita sendiri. Di atas kayu salib disingkapkan betapa bobrok dan betapa tidak mampu kita menolong diri kita sendiri. Berita tentang salib adalah berita yang paradoks. Untuk mengerti berita injil, kuncinya adalah di dalam paradoks. Seringkali kita disuruh pilih, “Allahmu itu 1 atau 3? Allahmu itu Allah atau manusia” kita harus pilih “Atau”, dualisme. Namun dalam kekristenan ada 1 kunci yang menjelaskan semua misteri, yaitu pengertian paradoks. “Tidak. Kamu ikat saya dengan hanya pilihan atau. Pikiran dan logika manusia terbatas, tapi alkitab berkata Dia Allah dan manusia. Dia Tuan yang mulia sekaligus hamba.” Di dalam salib, anda akan melihat yang hina dan mulia, kekalahan dan kekuatan Allah, direndahkan sekaligus ditinggikan. Di dalam salib, kita akan melihat 1 pribadi yang dipermalukan, tapi di salib itulah Dia diagungkan. Kita manusia berdosa tidak bisa mengerti kekuatan dari dimensi Allah. Kita hanya tahu kekuatan itu dari uang, kuasa, jabatan, kesehatan. Namun Paulus berkata lain, “Salib bagi dunia adalah kebodohan, tapi itulah kekuatan Allah.” Di salib kita lihat keagungan. Pada waktu Dia dicaci maki, Dia tidak membalas. Pada waktu Dia dikutuki, Dia justru memberkati. Pada waktu Dia diejek dan dihina, Dia mengampuni. Pada waktu Dia dipermalukan, Dia mendoakan. Itu kekuatan sejati yang tidak dapat dimengerti oleh dunia ini, bukan kekuatan anak kecil yang pamer kekuatan. Kekuatan Allah dia atas kayu salib, menelanjangi kekuatan manusia. Pada waktu Yesus ditelanjagi, sebetulnya yang ditelanjangi adalah hati kita orang berdosa. Pada waktu Yesus dipermalukan, sebenarnya kita sedang mempermalukan diri kita sendiri. Pada waktu Yesus mengeluarkan kalimat pengampunan, pada titik yang sama merobek hati kita dan mengingatkan berapa egois dan cinta diri kita.

Alkitab memberi kita detail. Di momen Dia paling sengsara, Tuhan izinkan semua musuh Kristus harus bertekuk lutut. Orang dunia melihat orang yang disalib seperti pecundang, tapi pada waktu titik yang paling rendah, alkitab catat seluruh musuh harus memberi pengakuan bahwa kami sudah membunuh orang yang tidak bersalah. Yudas berhasil menjual gurunya dengan 30 keping perak. Dia pulang dengan “sukacita”, lalu seper sekian detik, dia langsung membuang uang itu dan keluar satu pengakuan dari mulutnya, “Aku sudah menumpahkan darah orang yang tidak bersalah.” Harus memberikan pengakuan. Orang yang paling berkuasa saat itu lebih dari Herodes, yaitu Pilatus memberi pengumuman di hadapan orang banyak, “Aku sudah 3x mengadili, menanyakan, tetapi aku tidak menemukan 1 kesalahan pun.” Kalimat itu harus keluar dari mulut Pilatus. Supaya semua orang tahu: kalau pun Dia mati, bukan karena kesalahan Dia, tapi karena kekerasan hati orang banyak. Musuh Tuhan harus memberi pengakuan bahwa Yesus tidak bersalah. Bahkan orang yang sudah ribuan kali memakukan orang, seperti kepala penjaga (centurion), pada waktu Yesus mati, dia harus memberi pengakuan, “Sungguh benar Dia adalah Anak Allah.” Lukas memberi catatan detail. Ketika Yesus mati, sudah genap, lalu orang banyak itu pulang dengan gembira, tapi kemudian mereka memukul-mukul dadanya. Mereka menang, tapi pada titik yang sama juga menangis. Penafsir mengatakan itu suatu kengerian. Kita mengalami problem of pain dalam hidup manusia berdosa. Orang sengsara karena ingin mendapat sesuatu, tapi tidak bisa. Namun ada sengsara yang jauh lebih menyedihkan, yaitu mendapat yang diinginkan, dan tetap sengsara serta menyesal.

Alkitab memberi penghormatan untuk momen salib dan paradoks. Di saat Kristus paling lemah, di situ musuh-Nya harus memberi pengakuan. Kita akan memikirkan 7 perkataan salib yang adalah perkataan paling agung yang dicatat di akhir kehidupan Tuhan. Dalam momen menuju salib, sudah tidak banyak lagi yang bisa dicatat. Tujuh perkataan salib adalah perkataan yang singkat. Di momen Getsemani sampai disalib, Yesus tidak lagi mengajar, berkhotbah, diskusi. Sedikit sekali keluar kata-kata Yesus. Penafsir mengatakan pada waktu manusia keras kepala dan hatinya semakin jahat, di situ firman diam. Aspek Allah diam memiliki banyak dimensi. Itu bisa positif  dalam arti Allah bekerja. Dalam Keluaran, Allah diam 400 tahun di Israel, tapi Allah sedang bekerja. Allah menyiapkan Musa. Sisi negatifnya, pada waktu Allah diam, ada dosa yang luar biasa sehingga Allah diam. Firman tidak lagi berbicara, manusia yang berbicara, ejekan-ejekan. Pilatus tanya, Yesus diam. Dari 4x pengadilan, itu pengadilan paling singkat dan paling tidak adil. Dari Imam besar, dilempar ke Pilatus, ke Herodes tidak dapat apa – apa, dan ke Pilatus lagi. Yesus cuma mengeluarkan 1-2 kalimat        waktu dengan Pilatus. Alkitab mencatat, di depan imam – imam kepala, Yesus diam. Dihadapan Herodes, Herodes girang karena bertemu dengan yang lebih besar dari Yohanes Pembaptis. Herodes terus memberikan pertanyaan mencecar, tetapi alkitab mencatat raja jahat ini tidak layak mendengar kalimat keluar dari mulut Tuhan Yesus, dan Yesus diam. Kemudian balik ke Pilatus lagi, Pilatus bertanya apa itu kebenaran? Tapi setelah ia bertanya, Pilatus malah membalikkan badannya dan bertanya kepada orang banyak. Pilatus yang kuasanya begitu besar, tidak dapat dipertanggungjawabkan karena ia takut kepada orang banyak. Maka 7 perkataan salib adalah perkataan paling signifikan, dan ketika kita merenungkan kalimat demi kalimat itu memberikan penghiburan di tengah – tengah dunia yang berdosa ini.

Dari 7 perkataan salib, saya akan bawakan 2 bagian saja. Dua bagian ini merupakan perkataan jeritan pengampunan dan penerimaan terhadap orang berdosa. Dua bagian perkataan salib yang akan dibahas adalah jeritan pengampunan dan juga jeritan penerimaan orang yang berdosa. Pertama, dari mulut Yesus yang mengalami siksaan, kehilangan segala sesuatu dan seolah-olah tidak bisa menolong dirinya sendiri kita berharap untuk mendengar apa yang akan dikatakan oleh-Nya. Namun, justru pada saat paling sengsara-Nya, dari mulutnya keluar perkataan yang agung. Kata-kata yang memberikaan penghiburan, pengampunan dan juga penerimaan surga kepada manusia-manusia hina seperti kita, kata-kata yang menunjukkan jaminan penyertaan yang sempurna. Dari 7 perkataan salib yang dicatat, kalimat pertama berbunyi, “Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” kita dapat melihat sebuah keindahan. Hidup Yesus adalah hidup yang berdoa dan itu adalah daya tarik yang luar biasa dari kehidupan Yesus. Bahkan murid-murid sendiri meminta kepada-Nya untuk mengajari mereka untuk berdoa karena keagungan hidup Yesus adalah hidup yang berdoa. Ciri khas dari doa Yesus adalah Ia selalu menempatkan doa di awal segala sesuatunya. Tidak fokus pada apa yang diminta. Berbeda dengan kita yang menempatkan doa sebagai pilihan akhir ketika kita menemui jalan buntu. Ketika kita sudah kehabisan pilihan untuk memecahkan masalah kita baru kita menyerukan nama Tuhan. Ban serep terakhir. Pada awal pelayanan-Nya, ketika Yesus dibaptis injil mencatat sebelum Yesus dibaptis langit terbuka dan sebelum kejadian tersebut yang Yesus lakukan adalah berdoa.

Cara Yesus berdoa berbeda dengan cara kita berdoa. Kita membutuhkan suatu objek mendesak yang ingin didoakan entah itu penyakit, permasalahan dan lain-lain dan setelah kita mendapatkan yang kita inginkan, kita berhenti mendoakan hal tersebut. Namun, Yesus tidak. Doa Yesus mengubahkan sesuatu menjadi baru. Dia tidak berdoa meminta hal hal keinginan-Nya namun justru ketika Ia berdoa, Bapa memperkenankan hal yang baru pada-Nya. Saudara jangan tunggu ada masalah baru kita berdoa. Berbeda dengan Yesus, Ia berdoa semalam-malaman sebelum memilih 12 murid-Nya pada siang hari keesokan harinya. Doa Yesus berbeda sekali. Ketika dalam pelayanan-Nya, pernah suatu kali Petrus mencari Yesus untuk memberitahukan kepada-Nya bahwa Ia dicari orang banyak dan Petrus menemukan Yesus sedang berdoa. Yohanes 17 memberikan porsi yang banyak tentang Yesus berdoa. Kalimat-kalimat yang indah dan spesifik yang dituliskan di situ tidak diterima oleh Yudas karena sudah diusir oleh Yesus semenjak pasal 13 sehingga pasal 14 sampai 17 Yudas tidak lagi berada disitu. Kalimat-kalimat yang dijelaskan pada pasal 17 ditujukan kepada murid-murid yang sejati dan Yudas tidak termasuk disitu. Di dalam Yohanes 17 sebelum memasuki Taman Getsemani, Yesus berseru meminta kepada Bapa untuk tidak mengambil murid-murid-Nya tersebut (minus Yudas) dari dunia melainkan untuk melindungi mereka dari kejahatan dan lalu pada pasal 18 baru orang-orang menangkap Ia. Di sini kita lihat sekali lagi, di awal setiap kejadian Ia selalu berdoa sehingga bahkan pada saat penyiksaan dan pencobaan sekalipun Ia justru luar biasa tenang. Ini berbeda dengan murid-murid yang justru pada saat diberi kesempatan berdoa oleh Yesus malah tidur dan saat menghadapi pendapat mereka lari kalang kabut. Sekali lagi disini kita bisa melihat jiwa kehidupan Tuhan Yesus adalah doa. Saat penyaliban, tangan-Nya tak mampu lagi untuk menjamah dan menyembuhkan, kaki-Nya tak mampu lagi untuk membawa-Nya keliling untuk mengajar, mulut-Nya tidak bisa lagi mengatakan pengajaran-pengajaran karena orang-orang sudah pergi menghilang tapi hati-Nya masih senantiasa terus berdoa bahkan hingga di atas kayu salib pun masih ada momen-momen berdoa bahkan dimomen yang paling jahat. Seharusnya ini juga menunjukkan kepada kita tidak ada satupun tempat dimana kita merasa tidak terlalu nyaman untuk berdoa.

Pernah ada seseorang yang bercerita kepada saya bahwa dia telah mendoakan pasangannya selama 7 tahun untuk bertobat dan sampai saat itu belum juga mau bertobat. Dengan menggunakan pengetahuannya akan Firman Tuhan dia mengatakan kepada saya bahwa waktu yang dia pakai sudah sempurna dan karena pasangannya tidak mau bertobat juga maka dari itu tidak perlu didoakan lagi. Tidak perlu memberikan mutiara kepada babi, katanya. Kadang memang kita menyaksikan ada orang yang begitu mengerti akan Firman Tuhan justru memperalat satu ayat untuk melarikan diri dari ayat yang lain. Ini sungguh sangat menyedihkan melihat hal-hal seperti itu. Tapi jikalau kita melihat dari fenomena-fenomena yang terjadi di dunia nyata kita bisa merasakan bahwa nampaknya percuma mendoakan orang-orang yang bermasalah dan kemungkinan besar juga orang-orang tersebut tidak mau didoakan oleh kita. Salah seorang anak sekolah minggu pernah mengatakan kepada saya bahwa justru karena Yesus berdoa di atas kayu salib, orang-orang yang didoakan-Nya semakin jahat. Hal ini dapat kita lihat dalam kitab Lukas dimana justru penjaga-penjaga yang memakukan Yesus memakukan-Nya ke kayu salib menghujatNya dan bahkan mengatakan akan lebih baik jikalau Ia berdoa untuk diri-Nya sendiri, menyelamatkan diri-Nya sendiri. Hal ini sekan-akan menunjukkan bahwa doa Yesus justru tidak manjur dan bahkan memperburuk keadaan. Tapi dari cerita ini kita bisa melihat bahwa hidup Yesus adalah hidup yang berdoa. Tidak ada tempat terlalu kelam yang tidak bisa dijamah oleh doa. Selama masih ada nafas hidup, Tuhan memberikan kesempatan untuk kita mendoakan siapapun yang kita ingin doakan entah itu pasangan, orangtua maupun mertua kita.

Kedua, dalam perkataan salib kita dapat melihat bahwa bagaimana Yesus melihat relasi diri-Nya dengan Allah Bapa tidak tergoyahkan. Hal ini ditunjukkan dengan pemakaian kata Bapa dalam setiap perkataan-Nya ketika berdoa di atas kayu salib. Memang salah satu perkataan salib yang Yesus ucapkan memakai kata Allah namun disini kita akan membahas penggunaan kata Bapa yang senantiasa Yesus gunakan saat di atas kayu salib. Pada saat pertama kali berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka…,” itu adalah momen pertama paku ditancapkan ke tangan-Nya. Ketika salib diberdirikan, tangan Yesus terkoyak sehingga selama satu dua menit darah senantiasa mengucur deras sehingga jantung detaknya sangat kuat dan detakan itu membuat sendi terasa sakit. Baru setelah dua menit itu berlalu maka darah yang keluar pelan-pelan menetes dan disinilah ditunjukkan dimana hukuman salib itu membunuh orang secara perlahan-lahan sambil untuk ditunjukkan juga penderitaan orang yang disalibkan. Namun, kalau kita melihat sikap Yesus ketika Ia menghadapi masa-masa berat seperti ini yang senantiasa berdoa, kita dapat melihat bahwa bagi-Nya tidak ada yang memisahkan Ia dengan kasih Bapa sama sekali. Jikalau kita melihat hal seperti ini kita perlu berpikir apa fenomena jahat yang kita alami setiap hari yang dapat meruntuhkan kepercayaan kita kepada Bapa. Kalau kita lihat ada begitu banyak fenomena-fenomena hidup sehari-hari yang bisa merampas kepercayaan kita kepada Tuhan dan hal ini tidak mudah untuk dihadapi. Terlebih lagi untuk datang kepada Tuhan dan tetap mengikut Dia. Saudara-saudara, rahasia kemenangan sejati iman kita tidak terletak pada lancar tidaknya hidup kita melainkan pada kualitas hubungan kita dengan Tuhan, seberapa taat kita kepada Allah. Jikalau kita lihat pada bacaan kita kali ini, Yesus menyebut Allah sebagai Bapa menggambarkan kedekatan relasi-Nya dengan Allah Bapa meski pada saat yang sama penjaga-penjaga tersebut mengejek-Nya. Lalu kemudian, salah satu penjahat yang disalibkan bersama-sama dengan Dia menghujat Dia mengatakan “Jikalau Engkau adalah Juruselamat, selamatkanlah diri-Mu dan diri kami juga.” Ini adalah metode iblis yang lama dan dipakai untuk menguji Kristus juga saat awal pelayananNya pada saat pencobaan di padang gurun. Pada saat di padang gurun, iblis mencobai Kristus dengan meminta Dia menunjukkan status-Nya sebagai Anak Allah dengan mengubah batu menjadi roti. Permintaan yang tidak relevan sama sekali dari Iblis, namun Yesus tidak bergeming akan pencobaan ini. Namun, ironisnya mentalitas seperti  ini masih sering kita dengar di atas mimbar dikhotbahkan oleh banyak pendeta. Mereka menekankan jikalau kita memang percaya kepada Tuhan Allah, maka seharusnya permintaan kita diberikan oleh-Nya. Salah seorang jemaat pernah mengeluh kepada saya mengeluh bahwa dia tidak pernah mendapatkan apa yang dia minta kepada Tuhan selama ini. Dia merasa bukan hanya meminta, dia bahkan sudah berteriak dan menggedor-gedor kepada Tuhan agar diberikan apa yang dia minta. Ini adalah teori Iblis yang mengatakan “Kalau memang Engkau adalah Tuhan, seharusnya Engkau mampu memberikan apa yang kita minta.” Kita akan menemukan hal-hal seperti ini namun luar biasanya meskipun dihadapkan keadaan dan cobaan semacam ini, Yesus tidak bergeming. Dia tetap memanggil Bapa

Pada kata kedua, Yesus berkata “ampunilah.” Mengapa? Bukankah selama Yesus melayani di atas dunia ini, Ia banyak mengampuni orang berdosa dan setiap kali Ia melakukan mukjizat, Ia juga ikut mengampuni orang berdosa? Kenapa kali ini Yesus meminta kepada Bapa untuk mengampuni orang-orang yang menghina-Nya itu? Arthur W. Pink dalam bukunya yang membahas 7 perkataan salib menyatakan bahwa pada saat itu, Yesus mengidentifikasikan, menyamakan diri-Nya sama dengan penjahat-penjahat itu. Yesus bisa mengampuni mereka saat itu, namun Yesus memillih untuk menyamakan diri dengan mereka dan meminta pengampunan Bapa atas mereka. Pada saat Yesus yang tergantung di antara langit dan bumi saat dipakukan kayu salib, Arthur W. Pink memberikan catatan bahwa Yesus saat itu meminta agar Bapa di surga tidak menumpahkan amarahnya kepada penjahat-penjahat ini melainkan menimpakan murka-Nya kepada diri Yesus yang tergantung di atas kayu salib. Disini Ia melihat kepada Bapa dan menyamakan diri-Nya dengan para penjahat itu untuk meminta pengampunan atas kedua penjahat itu meskipun seharusnya Yesus memiliki otoritas tersebut. Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, pengampunan itu terasa teori yang sangat bagus apabila kita khotbahkan di atas mimbar. Namun, saat kita memasuki masa dimana kita harus mengampuni orang lain, barulah kita sadar bahwa pengampunan itu tidak mudah. Bahkan orang-orang saleh di dalam Alkitab bergumul untuk mengampuni. Simson, yang dicatat dalam Ibrani sebagai rakasasa Iman, di akhir hidupnya juga berdoa kepada Allah namun kualitasnya sangat jauh dengan kualitas doa Kristus. Alih-alih meminta kekuatan kembali untuk dapat memuliakan Tuhan, ia meminta untuk diberi kekuatan satu kali lagi untuk membalaskan dendam kepada orang-orang Filistin yang telah mencungkil kedua matanya. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tidak ada kaitannya dengan Tuhan sama sekali. Saya sendiri mengerti dan paham bahwa saat ini mungkin saya bisa berapi-api mengkhotbahkan ini dari atas mimbar namun apabila suatu saat nanti saya menghadapi keadaan dimana saya harus mengampuni orang-orang yang bersalah kepada saya, menyakiti orang-orang yang saya cintai, hal itu akan sangat sulit. Pengampunan itu bukan produk bumi. Itu adalah produk surga. Mengampuni itu seperti meremas-remas bunga yang wangi, membuangnya namun wanginya semerbak kemana-mana. Pengampunan itu membutuhkan anugrah Tuhan yang begitu besar. Dari sini kita perlu belajar untuk mengasihani diri dan merasa orang yang paling sengsara, paling banyak berkorban sehingga tidak perlu mengampuni lagi.

Kalimat selanjutnya, Yesus berkata “sebab mereka tidak tahu yang mereka perbuat.” Pertanyaannya adalah, apabila misalnya kita melanggar rambu jalan karena kita tidak lihat, apakah kita bisa dibebaskan dari hukuman karena ketidaktahuan kita? Tidak. Kita tetap harus menjalani hukuman. Kalimat “saya tidak tahu” tidak serta merta membuat dosa kita harus diampuni dan membuat pengampunan menjadi murahan. Ketika Yesus mengatakan “ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” tidak meniadakan penghakuman sebagai konsekuensi dari dosa melainkan Yesus mengajukan diri sebagai pihak yang menanggung hukuman atas dosa mereka. Pernah suatu kali saya melihat ada salah seorang anak sekolah minggu saya yang memukul temannya saat sedang ibadah sekolah minggu. Seketika juga gurunya datang dan meminta anak yang menjadi korban untuk mengampuni si pemukul, belajar tidak dendam. Saya kemudian datang dan mengatakan kepada anak yang memukul temannya barusan bahwa untuk mengampuni dia, ada orang yang harus bayar harga. Menahan kesakitan akibat perbuatannya. Dia harus mengampuni dan membiarkan kepalanya sakit sekali dipukul. Pengampunan tidak mudah dan tidak murahan. Ibrani mengatakan pengampunan itu tidak boleh dilakukan tanpa ada penumpahan darah. Petrus dan Paulus menekankan bahwa hal yang para penghina dan para penganiaya Yesus tidak ketahui saat penyaliban Yesus adalah mereka tidak mengetahui siapa yang mereka salibkan. Mereka tidak tahu hukuman kekal yang akan mereka terima saat menyalibkan Anak Allah. Saya masih teringat cerita saya yang barusan dimana anak sekolah minggu saya terheran-heran karena justru sesudah Yesus berdoa, penderitaan Yesus semakin hebat dan orang-orang semakin jahat. Ketika saya ingin menjawab itu, saya teringat kejadian dimana Abraham berdoa kepada Allah saat mengorbankan anaknya di atas gunung, Allah memberikan domba sebagai ganti anak tersebut. Saat Musa ketakutan meminta pertolongan Tuhan untuk menyelamatkan bangsa Israel dari kejaran Firaun, Tuhan menjawab dengan membelah lautan. Namun, di atas bukit Golgota saat Yesus berdoa mohon pengampunan orang-orang disamping-Nya, keadaan tetap tidak bergeming. Salib menjadi saksi bisu akan keadaan yang tidak berubah. Pun juga, respons para penjahat yang digantung bersama dengan Yesus semakin lama semakin beringas dan mereka menghina-hina Yesus. Akan tetapi pada hari itu, doa yang dipanjatkan oleh Kristus adalah doa yang berkuasa besar. Pada saat itu tergantung di antara langit dan bumi Juruselamat kita semua yang berdoa bagi pengampunan dosa anda dan saya. “Ampunilah mereka,” kata-Nya. Yohanes 17 mengatakan bahwa saat Yesus berdoa, Ia mendoakan tidak hanya 11 orang yang ada bersama-sama dengan Dia saat itu akan tetapi juga kepada orang-orang yang akan percaya karena pemberitaan ke 11 murid tersebut. Kita semua bisa percaya kepada Tuhan karena Ia telah berdoa bagi Anda dan Saya terlebih dahulu. Itu adalah bentuk kasih yang besar

Selain itu dosa Yesus itu juga ternyata mengubah hati penjahat yang berada disamping-Nya. Doa itu yang kemungkinan juga mengubah hati Centurion, kepala pasukan. Doa itu juga yang dipakai oleh Petrus untuk berkhotbah hingga mampu menyatakan bahwa Yesus yang disalibkan oleh mereka adalah yang akan menebus dosa mereka juga. Khotbah tersebut yang mempertobatkan ribuan orang. Saat Yesus berada di atas kayu salib dan berdoa kepada Bapa, penjahat yang berada di samping salib Yesus meresponss doa tersebut. Matanya terarah kepada Kristus dan terheran dengan figur yang ada di sebelahnya karena responssnya berbeda dengan orang-orang yang disalibkan pada umumnya. Alih-alih mengumpat justru Yesus mendoakan mereka yang bersikap jahat kepada-Nya. Pada saat itulah hari nuraninya bekerja, Roh Allah bekerja di dalam hatinya dan pada saat itu juga dia menyadari bahwa dia sungguh orang berdosa. Ketika temannya sesama penjahat menghujat Kristus, justru ia menegur temannya tersebut dan mengatakan bahwa mereka, para penjahat, pantas untuk dipakukan di atas kayu salib namun Yesus Kristus yang berada di tengah-tengah mereka ini tidak layak karena tidak ada satupun kesalahan yang ada padaNya menyebabkan Ia pantas untuk dihukum seperti itu. Disitu, sang penjahat yang tersadar bahwa dirinya berdosa itu mengerti bahwa tidak ada lagi kesempatan baginya untuk bertobat lagi. Tidak mungkin ia diturunkan untuk dapat diberi kesempatan bertobat karena kesempatannya sudah habis. Disini ia mengerti satu-satunya yang bisa diharapkan adalah pengampunan. Kita semua adalah orang yang diampuni. Saat nanti kita berada di masa penghakiman kita hanya bisa berkata satu-satunya alasan kita bisa masuk ke dalam Kerajaan Surga adalah karena kita telah diampuni oleh darah yang mahal. Darah Kristus Yesus.

Di sini, saat penjahat itu sadar akan dosanya, muncul iman di dalam dirinya dan pengertian bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Iman itu bekerja sehingga memampukan ia untuk meminta Yesus mengingat dirinya saat Yesus datang sebagai Raja di atas dunia. Dia tidak meminta untuk menolongnya, memberkatinya atau menyelamatkannya. Lucunya, selama masa pelayanan Yesus, murid-murid memikirkan konsep Kristus adalah Raja itu sebagai tahta, sedang penjahat ini, ketika mendekati masa kematiannya, mampu melihat Yesus itu sebagai Raja tanpa ada tahta bahkan saat Ia tergantung di kayu salib. Disini ia melihat bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Setelah kematian ini, Yesus tidak akan datang dengan kondisi hina seperti ini melainkan sebagai Raja dan sang penjahat meminta agar Yesus tetap mengingatnya saat Ia datang sebagai Raja. Charles H. Spurgeon pernah mengatakan bahwa penjahat yang bertobat saat Yesus berada di kayu salib adalah sahabat terakhir Kristus saat berada di bumi dan adalah sahabat pertama yang ditemui Tuhan di pintu Firdaus. Iman penjahat ini luar biasa karena dia tidak pernah melihat mukjizat Yesus sama sekali namun mampu melihat kebesaran Yesus saat itu juga. Saat dia meminta agar Kristus mengingatnya saat nanti datang sebagai Raja, Kristus meresponss bahwa saat ini juga penjahat ini akan bersama-sama dengan Dia di dalam Firdaus. Firdaus di sini bukan seperti gambaran dunia dimana harta berada di dalam gelimang harta melainkan Firdaus disini berarti kita berada dalam keadaan dapat menikmati hadirat Tuhan bahkan di saat dipaku di atas kayu salib sekalipun. Namun, sesaat setelah Yesus mengatakan ini apabila kita baca sesuai pemahaman kita, yang kita lihat justru keadaan semakin mengerikan. Yesus mulai menunjukkan kesakitan dan kesusahanNya, bahkan sampai berseru kepada Allah mengapa Ia meninggalkan Yesus. Sungguh sangat aneh untuk mempercayai janji Yesus bahwa Ia akan membawa penjahat ini ke Firdaus sedangkan Dia sendiri mengalami kesusahan yang amat sangat sampai dan gempa serta badai terjadi saat penyaliban berlangsung sampai di saat Yesus mengucapkan “Bapa kedalam tangan-Mu, kuserahkan nyawa-Ku.” Disini kita melihat penjahat tersebut bertahan dan memiliki ketenangan sampai akhir karena Ia tahu telah memiliki jaminan yang pasti dari Kristus meskipun dunia bergejolak begitu hebatnya.